Rabu, 01 Agustus 2012

MEDALI PERAK OLIMPIADE : Triyatno Siap Mati Di Gelanggang


Compact_triyatnolifter
LONDON – Perjuangan Triyatno sungguh luar biasa. Bahkan dia membuat penonton yang memadati Excel London, di tempat pertandingan angkat besi, terdiam. Saat itu, Selasa (31/7/2012) malam atau Rabu dini hari WIB, lifter Indonesia itu sedang berusaha mengangkat beban 188kg untuk angkatan snatch and jerk kelas 69kg.
Atlet asal Kalimantan Timur itu belum pernah melakukannya sebelumnya. Bahkan dalam latihan sekalipun. Ia nyaris gagal, kakinya terseok-seok menahan beban seberat itu, namun ia terus berusaha keras menahan beban itu agar tidak jatuh. “Dalam hati saya berkata, saya harus mati-matian menahan, ini kesempatan terakhir saya. Kalau perlu mati di sini tidak apa-apa,” kata Triyatno seusai meraih medali perak.
“Tadi hampir jatuh tetapi saya tahan terus sampai ada perintah down, baru saya jatuhkan,” tambahnya.
Sebenarnya, atlet kelahiran Lampung 20 Desember 1987 itu sudah mengamankan medali perunggu ketika mampu mengangkat beban 186kg. “Tetapi kalau ingin perak, harus mampu 188kg kata pelatih, dan saya mau berusaha semaksimal mungkin,” tambah anak bungsu dari tiga bersaudara itu.
Usahanya itu tidak sia-sia, anak pasangan Suparno dan Sukatinah tersebut mampu mempersembahkan medali perak bagi Merah Putih, lebih baik dari hasil yang diperolehnya di Beijing empat tahun lalu ketika ia meraih perunggu.
Triyatno, anak dari keluarga petani itu, mengawali olahraga angkat besi di usia 14 tahun. “Waktu itu diajak teman untuk ikut berlatih. Ya sudah saya ikut saja,” kata atlet yang lahir dan besar di Lampung itu. “Pertama latihan badan sakit semua,” katanya mengenang awal karirnya sepuluh tahun yang lalu.
Ucapan pelatihnya waktu itu, Yon Haryono, “nanti kalau kamu juara bisa menginap di hotel gratis, pergi kemana saja gratis” telah menyulut semangatnya untuk berlatih keras. Tidak sia-sia, hasil latihan kerasnya membuahkan medali perunggu Olimpiade Beijing. Ia juga meraih emas di Kejuaraan Asia 2009, dan perunggu di Kejuaraan Dunia 2009 dan 2010.
Medali emas Kejuaraan Asia 2009 di Kazakhstan juga diraih pria yang berencana menikahi kekasihnya, sesama lifter, Riska Anjani, usai PON Riau akhir tahun ini. “Saya berlatih setiap hari kecuali Kamis dan Minggu libur,” kata atlet asuhan pelatih Lukman itu.
Buah prestasinya tentu tidak saja medali. Bonus demi bonus mengalir seiring dengan meningkatnya prestasi yang diraihnya. Ia bisa memberangkatkan kedua orangtuanya pergi haji, yang juga diakuinya semuanya berkat hasil dari angkat besi. “Semuanya [yang saya punya] dari angkat besi,” kata Triyatno yang kakak sulungnya menjadi TKI di Malaysia, dan kakak keduanya tinggal di rumah mengurus sawah dan ladang.
Sekarang, setelah semua yang ia raih, Tri masih menyimpan harapan untuk dapat tampil di Olimpiade Rio de Janeiro 2016 dan meningkatkan perolehannya menjadi emas. “Insya Allah saya masih bisa tampil di Rio,” katanya. Tentu saja harus melalui usaha mati-matian (solopos)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar